Kutempuh jalan-jalan lengang, derita-Mu
menghadang
Demikian tertib nasib menyalib
Dari pusat hari-hari-Mu yang rumit
Kutempuh jalan-jalan sepi, cinta mekar dalam
bunga-bunga sunyi
Hidup berbeban juang, sepanjang tubir hari-hari
yang garang
Tak berdalih, antara derita dan ketawa
Makna hidup latah cinta, gelepar-Mu yang
menggemuruh di dada
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Jumat, 12 November 2010
Senja pun membenam dalam tragedi
Abad ini
jalan ini semakin sunyi
Tapi kita tak sampai-sampai juga
Angin dari relung itu
Semakin runcing
Dan menciptakan garis ungu
Haruskah ke arah lain jalan pantai
kita kawinkan sepi
Antara dua badai?!
Tualang panjang ini
Semakin jauh semakin lengang
Langkah pun lelah menapak juang
Lalu kelepak yang menjauh
Longsong itu
Tanggalan pun jatuh
Tinggallah gerimis renyai
Dan bait-bait sunyi
Ketika jam pun sampai
Menunjuk-nunjuk tempat sepi
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Abad ini
jalan ini semakin sunyi
Tapi kita tak sampai-sampai juga
Angin dari relung itu
Semakin runcing
Dan menciptakan garis ungu
Haruskah ke arah lain jalan pantai
kita kawinkan sepi
Antara dua badai?!
Tualang panjang ini
Semakin jauh semakin lengang
Langkah pun lelah menapak juang
Lalu kelepak yang menjauh
Longsong itu
Tanggalan pun jatuh
Tinggallah gerimis renyai
Dan bait-bait sunyi
Ketika jam pun sampai
Menunjuk-nunjuk tempat sepi
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
Iakah itu pelancong tak bernama.
Menyusur semenanjung tenggara
istirah ke sini. Menawarkan senja dalam desau prahara
setelah lelah mengedangkan jaring nasib melawan bencana
Siapakah masih mengaliri aku, o, sungai derita
rakit-rakit sarat biduk-biduk dan tongkang, detak jantung luka
memeram musim memberat mengimpikan birahi pada pulungnya
lakah itu yang menggedor pintu dan jendela
malam-malam begini. Dukakah itu duka dunia
menyusur sungaiku yang terus mengaliri dasar jiwa
Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
Iakah itu pelancong tak bernama.
Menyusur semenanjung tenggara
istirah ke sini. Menawarkan senja dalam desau prahara
setelah lelah mengedangkan jaring nasib melawan bencana
Siapakah masih mengaliri aku, o, sungai derita
rakit-rakit sarat biduk-biduk dan tongkang, detak jantung luka
memeram musim memberat mengimpikan birahi pada pulungnya
lakah itu yang menggedor pintu dan jendela
malam-malam begini. Dukakah itu duka dunia
menyusur sungaiku yang terus mengaliri dasar jiwa
Siapakah yang pulang dengan langkah masai
menyandang duka Adam yang pertama
mengempang arus sungai, membadung nasibnya?
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis zaman
Ketika sekawanan burung luka
Mencakar tangkai jantung derita
Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis insani
Karena rahang-rahang kemerdekaan
Disekap moncong-moncong pertikaian
Dan tersumpal luka yang tak kunjung tersembuhkan
Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis kita
Karena di tengah kelu dan borok dunia
Tuhan tetap mengulurkan berjuta sauh cinta
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Adalah gerimis tangis zaman
Ketika sekawanan burung luka
Mencakar tangkai jantung derita
Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis insani
Karena rahang-rahang kemerdekaan
Disekap moncong-moncong pertikaian
Dan tersumpal luka yang tak kunjung tersembuhkan
Gerimis pagi ini
Adalah gerimis tangis kita
Karena di tengah kelu dan borok dunia
Tuhan tetap mengulurkan berjuta sauh cinta
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Aku terbanting atas lantai kehidupan
Karena beban seribu jalan
Sukmaku yang gelisah resah
Merangkai sajak tak tersua
Sementara tangan tegang kaku menyandang sunyi
Membusur panah ke jantung waktu
Cintaku yang perih dalam pusat pusaran segala rindu
Memang laut-Mu teramat dalam terduga segala cinta
Dataran lekang kemarau menunggu waktu demi waktu
Adakah kita mampu menyimak segala rahasia
Yang bermain antara gelap dan denyar cahaya?
Adalah semuanya berpulang kepada janji, kepada sunyi
Cinta yang memahat-mahat setiap bait abadi
Bagai hujan yang setia mencuci lantai bumi
Menyelesaikan sebait puisi
Aku terbanting di atas lantai kehidupan
Rebah di tengah galau riuh rendah abad ini
Dan luka-luka
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Karena beban seribu jalan
Sukmaku yang gelisah resah
Merangkai sajak tak tersua
Sementara tangan tegang kaku menyandang sunyi
Membusur panah ke jantung waktu
Cintaku yang perih dalam pusat pusaran segala rindu
Memang laut-Mu teramat dalam terduga segala cinta
Dataran lekang kemarau menunggu waktu demi waktu
Adakah kita mampu menyimak segala rahasia
Yang bermain antara gelap dan denyar cahaya?
Adalah semuanya berpulang kepada janji, kepada sunyi
Cinta yang memahat-mahat setiap bait abadi
Bagai hujan yang setia mencuci lantai bumi
Menyelesaikan sebait puisi
Aku terbanting di atas lantai kehidupan
Rebah di tengah galau riuh rendah abad ini
Dan luka-luka
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Perjalanan ini
menyusuri langsai-langsai kehidupan
menyusuri luka demi luka
menyusuri gigiran abad padang-padang lengang
menyusuri matahari
dan lautan abadi dahsyat sunyi
Perjalanan ini
menyusuri pantai sukma demi sukma
menyusuri geliat urat-urat hari
menyusuri dasar telaga lembah jiwa
dan tanah hitam coklat merah
sepanjang rentangan tali benang-benang nurani
Perjalanan ini
menyusuri perigi dunia terik kering
adalah jiwa kita yang lelah
Perjalanan ini
menyusuri bumi pahit manis dan langit asing
adalah kita yang sempoyongan menyandang berjuta beban
Perjalanan ini
menyusuri hutan bentangan sepi bentangan api
adalah kita yang menyandang luka dan seribu jalan
adalah kitayang mendukung senja dan sejuta salib
hitam
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
menyusuri langsai-langsai kehidupan
menyusuri luka demi luka
menyusuri gigiran abad padang-padang lengang
menyusuri matahari
dan lautan abadi dahsyat sunyi
Perjalanan ini
menyusuri pantai sukma demi sukma
menyusuri geliat urat-urat hari
menyusuri dasar telaga lembah jiwa
dan tanah hitam coklat merah
sepanjang rentangan tali benang-benang nurani
Perjalanan ini
menyusuri perigi dunia terik kering
adalah jiwa kita yang lelah
Perjalanan ini
menyusuri bumi pahit manis dan langit asing
adalah kita yang sempoyongan menyandang berjuta beban
Perjalanan ini
menyusuri hutan bentangan sepi bentangan api
adalah kita yang menyandang luka dan seribu jalan
adalah kitayang mendukung senja dan sejuta salib
hitam
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Bunga-bunga daun luruh
Halaman ditinggal adzan
jalanan senyap lubuk terpendam
Ke ujung tangisan
Suara menyapa dalam luruhan
Beranda sunyi menatap halaman
Apakah engkau apakah bosan
Yang setia berdiri di sisi kesepian
Bunga-bunga daun luruh
Halaman itu sunyi ditinggal diam
Pelangi mencium lubuk dan kolam
Kita pun di sini ngungun dalam gerimis duka jatuh
Menghitung-hitung sukma hari-had dekat dan jauh
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Halaman ditinggal adzan
jalanan senyap lubuk terpendam
Ke ujung tangisan
Suara menyapa dalam luruhan
Beranda sunyi menatap halaman
Apakah engkau apakah bosan
Yang setia berdiri di sisi kesepian
Bunga-bunga daun luruh
Halaman itu sunyi ditinggal diam
Pelangi mencium lubuk dan kolam
Kita pun di sini ngungun dalam gerimis duka jatuh
Menghitung-hitung sukma hari-had dekat dan jauh
1974
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Kampar waktu pun menghanyutkan kita
Dalam arus zaman
Selalu tiran berceloteh dengan makna ganda
Seakan pelog-pelog burung malang atas ranting yang rapuh
Terus memasang sarang dalam bringas angin puyuh
Di jingga transisi ini
Dewa-dewa mabuk matahari
Mentalkinkan riwayat
Menggiring gamelan yang tiba-tiba
mengatmosfirkan sunyi
Mencuci kemarau pekat
Di aula ini di depan audensia
Terdampar kampar waktu
Dan di tengah padang celoteh aneh ini
Kita saling tuding-menuding
Dalam lilitan benang mursal
Sementara di arah lain angin bangkit membagal
Pantai niskala. Terkesiap kita tiba-tiba
Tiba-tiba hingar. Ruang: Mahsyarl
(Selalu tertawa waktu membujuk-bujuk senja
Sambil membetulkan jam yang buru-buru
menunjuk-nunjuk jadwal)
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Dalam arus zaman
Selalu tiran berceloteh dengan makna ganda
Seakan pelog-pelog burung malang atas ranting yang rapuh
Terus memasang sarang dalam bringas angin puyuh
Di jingga transisi ini
Dewa-dewa mabuk matahari
Mentalkinkan riwayat
Menggiring gamelan yang tiba-tiba
mengatmosfirkan sunyi
Mencuci kemarau pekat
Di aula ini di depan audensia
Terdampar kampar waktu
Dan di tengah padang celoteh aneh ini
Kita saling tuding-menuding
Dalam lilitan benang mursal
Sementara di arah lain angin bangkit membagal
Pantai niskala. Terkesiap kita tiba-tiba
Tiba-tiba hingar. Ruang: Mahsyarl
(Selalu tertawa waktu membujuk-bujuk senja
Sambil membetulkan jam yang buru-buru
menunjuk-nunjuk jadwal)
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Kotaku di sini
Gemuruh yang sunyi
Belantara kembara
ke dasar sukma
ke dalam
Kotaku di sini
Bermatahari berbulan
Di bendulnya aku berdiri
Mengaca diri kehidupan
ke lubuk-Mu dalam
Kotaku di gemuruh dada
Di ujung sukma
Megah
Api nur di sana
BaQa
Kotaku, kota kita
Kota umat
Ke mana suatu kali nanti kita berangkat
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Gemuruh yang sunyi
Belantara kembara
ke dasar sukma
ke dalam
Kotaku di sini
Bermatahari berbulan
Di bendulnya aku berdiri
Mengaca diri kehidupan
ke lubuk-Mu dalam
Kotaku di gemuruh dada
Di ujung sukma
Megah
Api nur di sana
BaQa
Kotaku, kota kita
Kota umat
Ke mana suatu kali nanti kita berangkat
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Sayap-sayap camar, gaung-Mu berkabar
Serpotong awan luka
menyingkap wajah-Mu bercadar
Bias larut. Legam laut dan senja tertawa
Ada yang luruh di dada. Busuran ujung langit terbakar
Suratan-Mu mistery beribu khabar
Riap sunyi bayang-bayang. Menyusup bendul luka
Di pantai Nyai Roro Kidul. Menanti kekasih pawang
Dengan sekepal jampi mantera
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Serpotong awan luka
menyingkap wajah-Mu bercadar
Bias larut. Legam laut dan senja tertawa
Ada yang luruh di dada. Busuran ujung langit terbakar
Suratan-Mu mistery beribu khabar
Riap sunyi bayang-bayang. Menyusup bendul luka
Di pantai Nyai Roro Kidul. Menanti kekasih pawang
Dengan sekepal jampi mantera
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Sang waktu pun terbangun dengan 100 matahari
Dan kucuran darah dari nganga liang-liang luka
Ketika ludah-ludah dunia yang amis
Jatuh rimis pada wajah-wajah kita yang terbakar
Sang waktu pun terbangun dalam angin runcing
Dalam suara gaib lorong-lorong hampa dan bahana cahaya
Ketika kapal-kapal kita pun merapat di dermaga luka
Dari suatu petang entah di mana
Sang waktu pun terbangun dengan 1000 bianglala
Dan nanah-nanah darah Semesta
Karena 29 anak panah
Merobek rahim jantung lukanya
Sang waktu pun terbangun dalam erangan ombak-ombak dunia
Dalam bayang bulan hitam ketika mega jatuh senja
Sang waktu pun terbangun dalam rabu dan nyali kita
Ketika bahana terakhir menikam dinding-dinding sukma semesta
Ketika di meja sebuah kitab terbuka siap dengan daftar nama-nama
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Dan kucuran darah dari nganga liang-liang luka
Ketika ludah-ludah dunia yang amis
Jatuh rimis pada wajah-wajah kita yang terbakar
Sang waktu pun terbangun dalam angin runcing
Dalam suara gaib lorong-lorong hampa dan bahana cahaya
Ketika kapal-kapal kita pun merapat di dermaga luka
Dari suatu petang entah di mana
Sang waktu pun terbangun dengan 1000 bianglala
Dan nanah-nanah darah Semesta
Karena 29 anak panah
Merobek rahim jantung lukanya
Sang waktu pun terbangun dalam erangan ombak-ombak dunia
Dalam bayang bulan hitam ketika mega jatuh senja
Sang waktu pun terbangun dalam rabu dan nyali kita
Ketika bahana terakhir menikam dinding-dinding sukma semesta
Ketika di meja sebuah kitab terbuka siap dengan daftar nama-nama
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Manusia
Tanah
Bungkah-bungkah kata
Adam dan Hawa
Manusia
Tulang-tulang kapur tanah kubur
Rumput bunga layu
Tetes waktu berlalu
Manusia
Domba-domba di padang tanpa gembala
Tersesat sendiri
Ke ujung yang sunyi
Manusia
Tanah
Bungkah-bungkah kata
Adam dan Hawa
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Tanah
Bungkah-bungkah kata
Adam dan Hawa
Manusia
Tulang-tulang kapur tanah kubur
Rumput bunga layu
Tetes waktu berlalu
Manusia
Domba-domba di padang tanpa gembala
Tersesat sendiri
Ke ujung yang sunyi
Manusia
Tanah
Bungkah-bungkah kata
Adam dan Hawa
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Lengan-lengan yang capai
Suara gaib itu
Pohon-pohon kadasai
Berjajar membisiki waktu
Ujung cakrawala
Daun violet sayap rama-rama
Sepotong bulan sabit
Mengintip celah-celah luka berdarah
Riap lalang dan kaki-kaki kerbau
Lumpur rawa dan suara serangga
Gigir bukit yang sunyi
Menanti teka-teki
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Suara gaib itu
Pohon-pohon kadasai
Berjajar membisiki waktu
Ujung cakrawala
Daun violet sayap rama-rama
Sepotong bulan sabit
Mengintip celah-celah luka berdarah
Riap lalang dan kaki-kaki kerbau
Lumpur rawa dan suara serangga
Gigir bukit yang sunyi
Menanti teka-teki
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Dahulu kita bertikai
Antara jalanmu jalanku
Sekarang kita sampai
Antara dua siku
Dahulu engkau ke sana
Aku pun melangkah ke anu
Sang Kala memutar kompas di belakang kita
Sekarang engkau dan aku
Engkau memetik melati
Aku menyiapkan api
Engkau menangis di sini
Aku tak tahu akan pergi
Pintu belantara itu terbuka
Burung-burung rimba berkeliaran
Kita telah sampai di ujung jalan
Memandang tamasya di sana
Siapakah engkau siapakah aku
Siapakah kita yang tersedu di ujung jalan itu
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Antara jalanmu jalanku
Sekarang kita sampai
Antara dua siku
Dahulu engkau ke sana
Aku pun melangkah ke anu
Sang Kala memutar kompas di belakang kita
Sekarang engkau dan aku
Engkau memetik melati
Aku menyiapkan api
Engkau menangis di sini
Aku tak tahu akan pergi
Pintu belantara itu terbuka
Burung-burung rimba berkeliaran
Kita telah sampai di ujung jalan
Memandang tamasya di sana
Siapakah engkau siapakah aku
Siapakah kita yang tersedu di ujung jalan itu
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Ada sejuta serigala
Memburu di cermin wajah kita
Lapar dan ganas
Gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita
Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin dingin
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yang mengucur darah
Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
Darah tetap mengucur dari luka demi luka
Kita tiba-tiba pecah dan terserak dalam cermin
wajah-wajah kita
(0, Yang Ada
Kita hanya berteriak, "aduh!" dan meraba-raba)
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Memburu di cermin wajah kita
Lapar dan ganas
Gagak-gagak menyanyi ke arah rimba
Seperti menyayat-nyayat daging kita
Matahari meratap
Dalam remukan-remukan cermin dingin
Telaga mengaca darah hitam
Ada luka yang mengucur darah
Kita ditinggal ngungun bayang cermin ini
Serigala-serigala melulung
Gagak-gagak berteriak
Darah tetap mengucur dari luka demi luka
Kita tiba-tiba pecah dan terserak dalam cermin
wajah-wajah kita
(0, Yang Ada
Kita hanya berteriak, "aduh!" dan meraba-raba)
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Jalan ini berdebu, kekasih
Terbentang di padang rasa
Enam belas matahari memanah dari enam belas ufuk
Siang pun garang sepanjang kulminasi
Bahak malam mengikut pelan langkah tertatih
Ketipak bulan putih
Di taman kekasih
Pengantinku
Antara kerikil dan pasir merah
Tersembunyi jejak-jejak yang singgah
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Terbentang di padang rasa
Enam belas matahari memanah dari enam belas ufuk
Siang pun garang sepanjang kulminasi
Bahak malam mengikut pelan langkah tertatih
Ketipak bulan putih
Di taman kekasih
Pengantinku
Antara kerikil dan pasir merah
Tersembunyi jejak-jejak yang singgah
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Kota kita di sini
Dijilat ruh-ruh hidup dan mati
Kota kita di sini
Petak-petak pahir manis dan asam
Menderu diketermanguan
Berpeluh manik-manik logam
Kota kita di sini
Diri kehidupan yang gelisah
Memanjat rumah demi rumah
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Dijilat ruh-ruh hidup dan mati
Kota kita di sini
Petak-petak pahir manis dan asam
Menderu diketermanguan
Berpeluh manik-manik logam
Kota kita di sini
Diri kehidupan yang gelisah
Memanjat rumah demi rumah
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Seperti sejumlah kata
Yang menggelepar ke luar
Meniti buih demi buih
Dunia yang terlantar
Seperti sejumlah musim
Yang kering, basah, dan mandi cahaya
Merangkak pada sumbu
jantung kita
Seperti sejumlah risau, benci dan cinta
Yang berpendar pada waktu
Menggaram akar-akar nafsu
Antara Adam lagu impian ziarahmu
Seperti sejumlah kata
Yang menyalin nama-nama
Meniti buih demi buih
jiwa kita
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Yang menggelepar ke luar
Meniti buih demi buih
Dunia yang terlantar
Seperti sejumlah musim
Yang kering, basah, dan mandi cahaya
Merangkak pada sumbu
jantung kita
Seperti sejumlah risau, benci dan cinta
Yang berpendar pada waktu
Menggaram akar-akar nafsu
Antara Adam lagu impian ziarahmu
Seperti sejumlah kata
Yang menyalin nama-nama
Meniti buih demi buih
jiwa kita
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Pintu biru diketuk dari luar
Siapakah yang berdiri di situ
Dengan suara yang lirih samar
Kujenguk dari jendela bersama angin gemetar
Hanya sebuah kenangan yang luka
Bernyanyi, bernyanyi ke ujung apar
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Siapakah yang berdiri di situ
Dengan suara yang lirih samar
Kujenguk dari jendela bersama angin gemetar
Hanya sebuah kenangan yang luka
Bernyanyi, bernyanyi ke ujung apar
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Pulau kecil mendongak langit
Dan mengaca taut yang tertawa
Angin di bandar dan pawang
Membaca mantera buaya
Tambur perang di dadanya
Mengetuk-ketuk jantung lukal
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Dan mengaca taut yang tertawa
Angin di bandar dan pawang
Membaca mantera buaya
Tambur perang di dadanya
Mengetuk-ketuk jantung lukal
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Kamis, 11 November 2010
Antara baunan jejak-jejak waktu
Dan 1.000.000 luka bayang
Kitalah musafir hilang
Mencari gelepar sisa pagi
Adalah perih luka
Garaman cuka peristiwa-peristiwa hari
Adalah 1001 tangan topan
Memukul jantung pelabuhan penghabisan
Tinggal torehan-torehan impian
Pada wajah dan seluruh tubuh
Bersimbah darah dan peluh
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Dan 1.000.000 luka bayang
Kitalah musafir hilang
Mencari gelepar sisa pagi
Adalah perih luka
Garaman cuka peristiwa-peristiwa hari
Adalah 1001 tangan topan
Memukul jantung pelabuhan penghabisan
Tinggal torehan-torehan impian
Pada wajah dan seluruh tubuh
Bersimbah darah dan peluh
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Berikan padaku pagi
Cahaya dan kebun bunga
Sungai membelah cakrawala
Lubuk-Mu kaca
Berikan padaku siang
Terik didih warna kehidupan
Benua jauh dan tanjung pulau
Tugu-Mu yang kukuh di tengah desau
Berikan padaku senja
Cangkir kopi, perapian dan buku tua
Kacara rabun dan pantai sejarah
Bukit-Mu megah
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Cahaya dan kebun bunga
Sungai membelah cakrawala
Lubuk-Mu kaca
Berikan padaku siang
Terik didih warna kehidupan
Benua jauh dan tanjung pulau
Tugu-Mu yang kukuh di tengah desau
Berikan padaku senja
Cangkir kopi, perapian dan buku tua
Kacara rabun dan pantai sejarah
Bukit-Mu megah
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Dalam kirai sayap waktu
Engkaukah di situ
Suara samar lirih
Seakan-akan merangkai tasbih
Gugusan kebun apel
Suara serangga
Meramu kehidupan
Seekor serangga
Meramu daun hijau
Seekor serangga
Membangunkan rumahnya
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Engkaukah di situ
Suara samar lirih
Seakan-akan merangkai tasbih
Gugusan kebun apel
Suara serangga
Meramu kehidupan
Seekor serangga
Meramu daun hijau
Seekor serangga
Membangunkan rumahnya
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Kutulis dalam senyum
Hari-hari yang ranum
Sekepal puisi cinta
Membantun sukma kehidupan
Kutulis dalam tangis
Hari-hari yang manis
Sekepal puisi cinta
Gairah dada remaja
Kutulis dalam tawa
Hari-hari berlumur duka
Sekepal puisi cinta
Melayah bicara
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Hari-hari yang ranum
Sekepal puisi cinta
Membantun sukma kehidupan
Kutulis dalam tangis
Hari-hari yang manis
Sekepal puisi cinta
Gairah dada remaja
Kutulis dalam tawa
Hari-hari berlumur duka
Sekepal puisi cinta
Melayah bicara
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Hutan daun-daun pohon
Menjangan di sisi telaga
Ada jerit dari rahim bumi tertahan
Geliat menjangan diterkam lawan
Bundakah itu atau langit pemberi kehidupan
Atau Kau atau siapa bersisi api sunyi
Kegelisahan ini adalah pertempuran
Bila reda bila gapai penghabisan
Jauh ada senyap dekat sukma dedaunan
Desah bisik-bisik musim ke ujung kehidupan
Gelepar sayap rantai dari lubuk jauhari
Ke rongga telaga itu jerit yang sunyi
Menjangan, telaga, dedaunan hijau
Sejuta senja terbantun
Kau dan aku dalam ngungun waktu
Kau dan akul
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Menjangan di sisi telaga
Ada jerit dari rahim bumi tertahan
Geliat menjangan diterkam lawan
Bundakah itu atau langit pemberi kehidupan
Atau Kau atau siapa bersisi api sunyi
Kegelisahan ini adalah pertempuran
Bila reda bila gapai penghabisan
Jauh ada senyap dekat sukma dedaunan
Desah bisik-bisik musim ke ujung kehidupan
Gelepar sayap rantai dari lubuk jauhari
Ke rongga telaga itu jerit yang sunyi
Menjangan, telaga, dedaunan hijau
Sejuta senja terbantun
Kau dan aku dalam ngungun waktu
Kau dan akul
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Surat ini
Kembang merah dalam hijau
Di bibir danau
Surat ini
Bunga putih dalam biru
Mekar di dasar benua
Dada penyair yang gelisah
Surat ini
Lukisan hari demi hari
Bisik riuh sukma kehidupan
Ke gigir telaga pualam
Surat ini
Untaian kalung khatulistiwa
Yang terserak di antara kita
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Kembang merah dalam hijau
Di bibir danau
Surat ini
Bunga putih dalam biru
Mekar di dasar benua
Dada penyair yang gelisah
Surat ini
Lukisan hari demi hari
Bisik riuh sukma kehidupan
Ke gigir telaga pualam
Surat ini
Untaian kalung khatulistiwa
Yang terserak di antara kita
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Dari pantai itu masih terdengar ujung siul
Dan lagu burung menyambut matahari dan mega timbul
Adalah taman dan bulan mengeras pada padas
Dan sepotong sajak dari bait terlepas
Selebihnya tapak kaki pada pasir tertimbun
Ketika angin mati gemetar menyinggahi rumpun
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Dan lagu burung menyambut matahari dan mega timbul
Adalah taman dan bulan mengeras pada padas
Dan sepotong sajak dari bait terlepas
Selebihnya tapak kaki pada pasir tertimbun
Ketika angin mati gemetar menyinggahi rumpun
1973
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
(Sepasang burung menyerbu pucuk-pucuk bakau
Sepasang burung berlagu menghalau kemarau)
Tinggal gemuruh. Gemuruh hari
Tinggal terik yang keluh kesah
Sepasang dua sejoli
Memandang awan singgah
(Sepasang burung melayah cemara-cemara kota
Sepasang burung berkisah tentang senja)
1972
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Sepasang burung berlagu menghalau kemarau)
Tinggal gemuruh. Gemuruh hari
Tinggal terik yang keluh kesah
Sepasang dua sejoli
Memandang awan singgah
(Sepasang burung melayah cemara-cemara kota
Sepasang burung berkisah tentang senja)
1972
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Adakah engkau tetap di sana
Memandang awan raib dan pasir penuh bulan
Adakah engkau tetap di sana
Memandang teka-teki nasib ini
Memandang gelepar sayap kata-kata
Yang disusun menurut abjad dengan raji dan setia
Adakah engkau tetap di sana
Memandang kelabu kota dan bumi yang gempita
Memandang burung dan dentur ombak dari rahim telaga
Yang menderu tak kenal waktu mendepak bingkai pematang kita
Adakah engkau tetap di sana
Memandang dan memandang lagi
Memandang bayang-bayang yang dihalau kemarau
Memandang senjakala
Dan iringan sayap-sayap kelelawar
Yang memintas-mintas senja samar
1972
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Memandang awan raib dan pasir penuh bulan
Adakah engkau tetap di sana
Memandang teka-teki nasib ini
Memandang gelepar sayap kata-kata
Yang disusun menurut abjad dengan raji dan setia
Adakah engkau tetap di sana
Memandang kelabu kota dan bumi yang gempita
Memandang burung dan dentur ombak dari rahim telaga
Yang menderu tak kenal waktu mendepak bingkai pematang kita
Adakah engkau tetap di sana
Memandang dan memandang lagi
Memandang bayang-bayang yang dihalau kemarau
Memandang senjakala
Dan iringan sayap-sayap kelelawar
Yang memintas-mintas senja samar
1972
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Menunggu malam di sini
Menunggu laut dan pantai legam
menunggu matahari
Dan seluruh gambar perwujudan
Menunggu malam di sini
menunggu genderang pembebasan
Yang ditabuh ruh-ruh
Dari puncak seribu menara
Menunggu malam di sini
Menunggu kapal-kapal dan sampan nelayan
Menunggu gelepar camar dan harum sayap rama-rama
Serta angin yang membersihkan pelabuhan di malam sisa
Menunggu malam di sini
Menunggu warna-warna mimpi
Yang dipukuli ombak
Menunggu malam di sini
Menunggu bisik-bisik harap
Menunggu langit pijaran api
Dan suara-suara gaib
Melayah ombak yang dahaga sendiri
1972
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Menunggu laut dan pantai legam
menunggu matahari
Dan seluruh gambar perwujudan
Menunggu malam di sini
menunggu genderang pembebasan
Yang ditabuh ruh-ruh
Dari puncak seribu menara
Menunggu malam di sini
Menunggu kapal-kapal dan sampan nelayan
Menunggu gelepar camar dan harum sayap rama-rama
Serta angin yang membersihkan pelabuhan di malam sisa
Menunggu malam di sini
Menunggu warna-warna mimpi
Yang dipukuli ombak
Menunggu malam di sini
Menunggu bisik-bisik harap
Menunggu langit pijaran api
Dan suara-suara gaib
Melayah ombak yang dahaga sendiri
1972
Puisi Oleh: Korrie Layun Rampan
Langganan:
Postingan (Atom)